PEMBAHASAN
Mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur,[1]terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat
(rapid eye movement/REM sleep).
Kejadian dalam mimpi
biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi.
Pengecualiannya adalah dalam mimpi yang disebut lucid dreaming. Dalam mimpi
demikian, pemimpi menyadari bahwa dia sedang bermimpi saat mimpi tersebut masih
berlangsung, dan kadang-kadang mampu mengubah lingkungan dalam mimpinya serta
mengendalikan beberapa aspek dalam mimpi tersebut.
Sumber : Wikipedia
Sebuah mimpi adalah
deretan pemikiran, citra, suara atau emosi yang dialami pikiran saat tidur
(American Heritage Dictionary, 2009). Isi dan fungsi mimpi tidak dipahami
sepenuhnya walau ia telah menjadi spekulasi dan minat sepanjang sejarah. Studi
ilmiah mimpi disebut oneirologi. Teknologi untuk mempelajari mimpi baru saja
berkembang beberapa dekade belakangan.
Makna kultural mimpi
Mimpi Yakub tentang tangga malaikat
Sepanjang sejarah,
orang telah mencari makna mimpi atau wahyu lewat mimpi (Lewis). Mimpi telah
dijelaskan secara fisiologis sebagai respon pada proses syaraf pada saat tidur,
secara psikologis sebagai cerminan bawah sadar, dan secara spiritual sebagai
pesan dari tuhan, prediksi masa depan atau berasal dari jiwa, karena simbologi
adalah bahasa jiwa. Banyak kebudayaan melaksanakan inkubasi mimpi, dengan
tujuan memanen mimpi yang prophetik atau mengandung pesan dari Tuhan.
Yahudi punya upacara
tradisional yang disebut”Hatavat Halom” – yang berarti membuat mimpi menjadi
baik. Lewat ritual ini mimpi yang mengganggu dapat diubah untuk memberikan
penafsiran yang positif oleh seorang rabbi atau sebuah dewan rabbi (Wein,
2006).
Neurologi Bermimpi
EEG menunjukkan gelombang otak saat tidur REM
Tidak ada definisi
yang diterima secara universal mengenai definisi bermimpi. Tahun 1952, Eugene
Aserinsky menemukan dan mendefinisikan tidur REM saat bekerja dalam pembedahan
penasehat PhDnya. Aserinsky menemukan kalau mata orang yang tidur bergerak di
bawah kelopak matanya, kemudian ia menggunakan mesin poligraf untuk mencatat
gelombang otak mereka saat periode ini. Dalam satu sesi, ia membangunkan subjek
yang menangis dan mengigau saat REM dan membenarkan kecurigaannya kalau mimpi
telah terjadi (Demend, 1966). Tahun 1953, Aserinsky dan penasehatnya
menerbitkan studi terobosan dalam jurnal Science (Aserinsky dan Kleitman,
1953).
Pengamatan yang
bertumpuk menunjukkan kalau mimpi erat kaitannya dengan tidur gerakan mata
cepat (Rapid Eye Movement – REM), dimana sebuah elektroencephalogram
menunjukkan aktivitas otak paling besar seperti saat sadar. Mimpi yang tidak di
ingat oleh partisipan pada saat tidur non-REM secara normal lebih biasa dalam
perbandingan (Dement dan Kleitmann, 1957). Pada sebuah rentang hidup umum,
seorang manusia menghabiskan waktu enam tahun bermimpi (sekitar dua jam tiap
malam). Sebagian besar mimpi hanya berlangsung 5 hingga 20 menit. Tidak
diketahui dari daerah mana di otak mimpi berasal, bila ada satu asal usul mimpi
atau apakah banyak bagian otak terlibat, atau apa tujuan mimpi bagi tubuh dan
pikiran.
Pada saat tidur REM, pelepasan
neurotransmitter tertentu sepenuhnya ditekan. Sebagai hasilnya, neuron motorik
tidak terangsang, sebuah kondisi yang disebut atonia REM. Ini mencegah mimpi
menghasilkan gerakan tubuh berbahaya.
Menurut sebuah laporan
di jurnal Neuron, otak tikus menunjukkan bukti aktivitas rumit saat tidur,
termasuk pengaktifan dalam ingatan deretan panjang aktivitas (Louie dan
Matthew, 2001). Studi menunjukkan kalau beragam spesies mamalia dan burung
mengalami REM saat tidur, dan mengikuti deretan kondisi tidur yang sama seperti
manusia.
Walaupun kekuatannya
untuk menjadi liar, merangsang, menakutkan atau mengesankan, mimpi sering
diabaikan dalam model utama psikologi kognitif (Barret dan McNamara, 2007).
Sebagai metode pemeriksaan digantikan dengan metode objektif yang lebih sadar
sekdiri dalam sains sosial tahun 1930an dan 1940an, studi mimpi dibuang dari
literatur ilmiah. Mimpi tidak secara langsung dapat diamati oleh pelaku
eksperimen tidak pula mimpi yang dilaporkan oleh subjek dapat dihandalkan,
akibat mangsa masalah penyimpangan akibat mengingat tertunda, bila ingat sama
sekali. Menurut Sigmund Freud, mimpi lebih sering dilupakan sepenuhnya, mungkin
karena karakter terlarangnya. Bersama-sama, masalah ini tampak membuatnya
berada di luar kajian sains.
Penemuan kalau mimpi
terjadi terutama pada saat kondisi tidur yang terbedakan secara
elektrofisiologis, tidur gerakan mata cepat (REM), yang dapat diidentifikasi
lewat kriteria yang objektif, membawa kelahiran pada minat fenomena ini. Saat
episode tidur REM dihitung durasinya dan subjek dibangunkan untuk melaporkan
sebelum editing atau pelupaan utama dapat terjadi, ditemukan kalau subjek
secara teliti sesuai jangka waktu mereka menimbang narasi mimpi saat tidur
sebanding dengan panjang tidur REM yang mendahului bangun. Korelasi dekat tidur
REM dan pengalaman mimpi ini menjadi dasar sederetan laporan pertama yang
menjelaskan sifat mimpi: yaitu teratur setiap malam, ketimbang berupa aktivitas
yang tidak beraturan, dan berfrekuensi tinggi dalam tiap periode tidur yang berlangsung
pada selang teramalkan sekitar tiap 60 – 90 menit sepanjang rentang hidup
manusia. Episode tidur REM dan mimpi yang menemaninya diperpanjang waktu malam,
dengan episode pertama yang terpendek, sekitar 10 – 12 menit, dan episode kedua
dan ketiga meningkat hingga 15 – 20 menit. Mimpi pada akhir malam dapat
berlangsung sepanjang 15 menit, walau ini dapat dialami sebagai beberapa kisah
yang berbeda karena interupsi sesaat yang mengganggu tidur saat malam berakhir.
Laporan mimpi dapat dilaporkan dari subjek normal pada 50% kejadian saat
terbangun pada akhir periode REM pertama. Tingkat pengingatan ini meningkat
hingga sekitar 99% saat bangun dari periode REM terakhir dalam satu malam.
Peningkatan dalam kemampuan mengingat ini tampaknya berhubungan dengan
intensifikasi sepanjang malam dalam kejelasan pencitraan, warna dan emosi
mimpi.
Teori Sintesis
Aktivasi
Tahun 1976 J. Allan
Hobson dan Robert McCarley mengajukan sebuah teori baru yang merubah penelitian
mimpi, menantang pandangan mimpi Freud sebelumnya sebagai keinginan bawah sadar
untuk ditafsirkan. Teori sintesis aktivasi mengatakan bahwa pengalaman inderawi
dibuat oleh korteks sebagai alat menafsirkan sinyal kacau dari pons. Mereka
mengajukan kalau dalam mimpi REM, gelombang PGO (Ponto-Geniculo-Occipital)
kolinergik naik merangsang struktur kortikal otak tengah dan depan, menghasilkan gerakan
mata cepat. Otak depan yang teraktivasi kemudian mensintesa mimpi dari informasi
yang dibuatnya secara internal. Mereka mengasumsikan kalau struktur yang sama
yang menghasilkan tidur REM juga membangkitkan informasi inderawi.
Penelitian Hobson
tahun 1976 menyarankan kalau sinyal yang ditafsirkan sebagai mimpi berasal dari
batang otak saat tidur REM. Walau begitu, penelitian oleh Mark Solms
menunjukkan kalau mimpi dibangkitkan di otak depan, dan bahwa tidur REM dan
bermimpi tidak berhubungan langsung (Solms, 2000). Saat bekerja dalam
departemen bedah syaraf di Johannesburg dan London, Solms memiliki akses pada
pasien dengan beragam cedera otak. Ia mulai menanyakan pasien mengenai mimpi
mereka dan membenarkan kalau pasien dengan kerusakan di lobus parietal tidak
dapat bermimpi; penemuan ini sejalan dengan teori Hobson tahun 1977. Walau
begitu, Solms tidak menemukan kasus hilangnya mimpi dengan pasien yang
mengalami kerusakan batang otak. Pengamatan ini memaksanya mempertanyakan teori
Hobson yang menandai batang otak sebagai sumber sinyal yang ditafsirkan sebagai
mimpi. Solms memandang gagasan bermimpi sebagai fungsi dari banyak struktur
otak yang membenarkan teori mimpi Freud, gagasan yang mendapat kritik dari
Hobson. Tahun 1978, Solms, bersama rekannya William Kauffman dan Edward Nadar,
melakukan sdederetan studi pengaruh tumbukan cedera traumatis menggunakan
beberapa spesies primata, khususnya monyet howler, untuk menyanggah postulat
Hobson kalau batang otak berperan penting dalam patologi mimpi. Sayangnya,
percobaan Solms terbukti tidak dapat disimpulkan, karena tingkat kematian yang
tinggi berasosiasi dengan penggunaan paku tumbuk hidrolik pada kerusakan otak
buatan dalam subjek uji berarti bahwa pool kandidat akhirnya terlalu kecil
untuk memenuhi persyaratan metode ilmiah (Rock, 2004)
Teori Aktivasi
Berkelanjutan
Menggabungkan hipotesis
sintesis aktivasi Hobson dengan penemuan Solm, teori mimpi aktivasi
berkelanjutan disajikal oleh Jie Zhang yang mengajukan kalau mimpi adalah hasil
dari aktivasi dan sintesis otak; pada saat bersamaan, tidur REM dan bermimpi
dikendalikan oleh mekanisme otak yang berbeda. Zhang berhipotesis kalau fungsi
tidur adalah memproses, menyandikan dan mentransfer data dari ingatan sementara
ke ingatan jangka panjang, walau tidak ada banyak bukti mendukung konsolidasi
ini. Tidur NREM memproses ingatan terkait sadar (ingatan deklaratif), dan tidur
REM memproses ingatan terkait tidak sadar.
Zhang beranggapan
kalau saat tidur REM, bagian otak yang tidak sadar sibuk memproses ingatan
prosedural; sementara itu, tingkat aktivasi dalam bagian sadar otak akan turun
pada tingkat sangat rendah karena masukan dari inderawi yang pada dasarnya
tidak terhubung lagi. Ini akan memicu mekanisme “aktivasi-berkelanjutan” untuk
membangkitkan aliran data dari penyimpan ingatan untuk mengalir lewat bagian
sadar otak. Zhang menyarankan kalau aktivasi otak mirip sinyal ini adalah
penginduksi tiap mimpi. Ia mengajukan bahwa, dengan keterlibatan sistem
berpikir asosiatif otak, bermimpi kemudian, menjaga dirinya sendiri dengan
pemikiran pemimpi sendiri hingga pemasukan sinyal ingatan selanjutnya. Hal ini
menjelaskan mengapa mimpi memiliki karakteristik kontinuitas (dalam sebuah
mimpi) dan perubahan mendadak (antara dua mimpi) (Zhang, 2004; 2005).Mimpi sebagai perangsang ingatan jangka panjang
Eugen Tarnow
menyarankan kalau mimpi adalah perangsangan pada ingatan jangka panjang yang
selalu ada, bahkan pada saat sadar. Keanehan mimpi karena format ingatan jangka
panjang, berdasarkan penemuan Penfield & Rasmussen bahwa rangsangan listrik
pada korteks membangkitkan pengalaman yang sama dengan mimpi. Pada saat sadar,
fungsi eksekutif menafsirkan ingatan jangka panjang konsisten dengan
pemeriksaan realitas. Teori Tarnow adalah pengerjaan ulang teori mimpi Freud
dimana ketidaksadaran Freud digantikan dengan sistem ingatan jangka panjang dan
“Pekerjaan Mimpi” Freud menjelaskan struktur ingatan jangka panjang (Tarnow,
2003).
Lokasi hippocampus
Mimpi untuk memperkuat
ingatan semantik
Studi tahun 2001
menunjukkan bukti bahwa lokasi ilogis, karakter dan aliran mimpi dapat membantu
otak memperkuat keterhubungan dan keselarasan ingatan semantik. Kondisi ini
dapat terjadi karena, saat tidur REM, aliran informasi antara hippocampus dan
neokorteks berkurang (Stickgold et al, 2001). Meningkatnya level hormon stress
kortisol cukup lama setelah tidur (sering saat tidur REM) menyebabkan
menurunnya komunikasi ini. Satu tahap konsolidasi ingatan adalah pengkaitan
ingatan yang jauh tapi berhubungan. Payne dan Nadal berhipotesis kalau ingatan
ini kemudian di konsolidasikan menjadi sebuah narasi yang halus, sama dengan
proses yang terjadi saat ingatan diciptakan waktu stress (Payne dan Nadel,
2004).
Mimpi untuk membuang
sampah
Robert (1886), seorang
ahli fisiologi dari Hamburg, adalah yang pertama kali berpendapat bahwa mimpi
adalah sebuah kebutuhan dan bahwa ia memiliki fungsi untuk menghapus (a) kesan
inderawi yang tidak sepenuhnya bekerja dan (b) gagasan yang tidak sepenuhnya
berkembang sepanjang hari. Lewat mimpi, material yang tidak lengkap akan
dibuang atau diperdalam dan dimasukkan kedalam ingatan. Gagasan Robert dikutip
berulang kali oleh Freud dalam karyanya Traumdeutung. Hughlings Jackson (1911)
memandang kalau mimpi bertindak untuk menyapu ingatan dan koneksi yang tidak
perlu sepanjang hari. Hal ini direvisi tahun 1983 oleh teori ‘belajar mundur’
Crick dan Mitchison, yang menyatakan bahwa mimpi seperti operasi membersihkan
komputer saat mereka offline, menghilangkan noda parasit dan “sampah” lainnya
dari pikiran saat tidur (Evans dan Newman, 1964; Crick dan Mitchison, 1983).
Walau begitu, pandangan berlawanan bahwa mimpi memiliki sebuah fungsi
konsolidasi ingatan dan penanganan informasi (Hennevin dan Leconte, 1971) juga
umum diterima. Mimpi adalah hasil dari penembakan spontan dari pola syaraf saat
otak melakukan konsolidasi ingatan saat tidur.
Mimpi sebagai resonansi
dalam rangkaian syaraf
Pada saat tidur, mata
tertutup, sehingga otak pada beberapa derajat menjadi terisolasi dari dunia
luar. Lebih jauh semua sinyal dari indera (kecuali penciuman) harus melewati
thalamus sebelum mencapai korteks otak, dan pada saat tidur aktivitas thalamus
terhenti (Rey et al, 2007). Ini berarti kalah otak terutama bekerja dengan
sinyal dari dirinya sendiri. Sebuah fenomena yang terkenal baik dalam sistem
fisika dinamis dimana tingkat masukan dan keluaran dari sistem rendah adalah
bahwa ayunan membuat pola resonansi spontan terjadi. Karenanya, mimpi mungkin
merupakan akibat sederhana dari ayunan syaraf.
Psikologi tidur dan
mimpi
Mimpi untuk menguji
dan memilih skema mental
Coutts (2008)
berhipotesis kalau mimpi memodifikasi dan menguji skema mental saat tidur dalam
sebuah proses yang ia namakan seleksi emosional, dan bahwa hanya modifikasi
skema yang tampak adaptif secara emosional saat uji mimpi dipilih untuk
retensi, sementara yang tampaknya maladaptif ditinggalkan atau dimodifikasi
lebih jauh dan diuji. Alfred Adler berpendapat bahwa mimpi sering merupakan
persiapan emosional untuk memecahkan masalah, membersihkan individu dari akal
sehat menuju logika pribadi. Perasaan mimpi residual dapat memperkuat ataupun
menginhibasi tindakan yang di kontemplasikan.
Teori psikologi
evolusi tentang mimpi
Psikolog evolusioner
percaya kalau mimpi merupakan semacam fungsi adaptif untuk bertahan hidup.
Deirdre Barrett berpendapat kalau mimpi hanyalah “berpikir dalam kondisi
biokimia yang berbeda” dan percaya kalau orang terus bekerja pada semua masalah
yang sama – pribadi dan objektif – dalam keadaan tersebut.” (Barret, 2007).
Penelitiannya menemukan kalau apapun – matematika, komposisi musik, masalah
bisnis – dapat diselesaikan lewat mimpi, namun dua daerah yang khususnya
membantu adalah 1) apapun yang mengandung visualisasi yang jelas dalam
solusinya, apakah itu masalah desain seni atau penemuan teknologi 3 dimensi dan
2) masalah dimana solusinya berada dalam “berpikir di luar kotak” – yaitu orang
tersebut terjebak karena kesepakatan umum dalam mendekati masalah tersebut
salah (Barret, 2001; 1993). Dalam teori terkait, yang di istilahkan oleh Mark
Blechner dengan “Darwinisme Oneirik,” mimpi dilihat sebagai penciptaan gagasan
baru lewat pembuatan mutasi pemikiran secara acak. Sebagiannya ditolak oleh
pikiran karena tidak berguna, sementara yang lain dilihat berguna dan
dipertahankan (Blechner, 2001). Psikolog Finlandia Antti Revonsuo berpendapat
bahwa mimpi telah ber evolusi sebagai “simulasi ancaman” secara eksklusif.
Teori Psikosomatik
Mimpi adalah hasil
dari “imajinasi terdisosiasi”, yang terdisosiasi dari diri yang sadar dan
menarik material dari ingatan inderawi untuk simulasi, dengan umpan balik
inderawi dihasilkan dalam halusinasi. Dengan mensimulasi sinyal inderawi untuk
mengendalikan syaraf otonom, mimpi dapat mempengaruhi interaksi pikiran –
tubuh. Dalam otak dan tulang belakang, “syaraf penyembuh” otonom, yang dapat
memperluas pembuluh darah, berhubungan dengan syaraf rasa sakit dan tekanan.
Syaraf ini terkelompok menjadi banyak rantai yang disebut meridian dalam
pengobatan china. Saat bermimpi, tubuh juga menggunakan meridian reaksi
berantai untuk memperbaiki tubuh dan membantunya tumbuh dan berkembang dengan
mengirimkan sinyal kompresi – gerakan sangat intensif saat tingkat enzim
pertumbuhan bertambah (Tsai, 1995).
Hipotesis lain
mengenai mimpi
Ada banyak lagi
hipotesis mengenai fungsi mimpi, antara lain: (Cartwjustify, 1993)
·
Mimpi memungkinkan bagian pikiran lain
yang tertekan untuk dipuaskan lewat fantasi sementara tetap membiarkan pikiran
sadar dari berpikir apa yang tiba-tiba menyebabkan seseorang tersadar dari
shock (Veldfelt, 1999).
·
Freud berpendapat bahwa mimpi buruk
membuat otak belajar mengambil kendali pada emosi yang dihasilkan dari
pengalaman yang menekan (Cartwjustify, 1993).
·
Jung berpendapat kalau mimpi dapat
menyumbang pada sikap satu sisi dalam kesadaran terjaga (Jung, 1948).
·
Ferenczi (1913) berpendapat bahwa mimpi,
saat diceritakan, dapat mengkomunikasikan sesuatu yang tidak dikatakan secara
langsung.
·
Mimpi mengatur mood (Kramer, 1993).
·
Hartmann (1995) mengatakan mimpi dapat
berfungsi seperti psikoterapi, dengan “membuat koneksi di tempat yang aman” dan
memungkinkan pemimpi untuk mengintegrasikan pemikiran yang mungkin terdisosiasi
saat ia sadar.
·
Penelitian yang lebih baru oleh psikolog
Joe Griffin, mengikuti tinjauan data dua belas tahun dari semua laboratorium
tidur utama, membawa pada perumusaan teori pemenuhan harapan mimpi, yang
menyarankan kalau mimpi secara metafora melengkapi pola harapan emosional
dalam sistem syaraf otonom dan menurunkan tingkat
stress mamalia (Griffin, 1997; Griffin dan Tyrrel, 2004)
Isi mimpi
Dari tahun 1940an
hingga 1985, Calvin S. Hall mengumpulkan lebih dari 50 ribu laporan mimpi di
Western Reserve University. Tahun 1966 Hall dan Van De Castle menerbitkan The
Content Analysis of Dreams dimana mereka menggariskan sistem
penyandian untuk mempelajari 1000 laporan mimpi dari mahasiswa (Hall dan Van de
Castle, 1966). Ditemukan bahwa orang di penjuru dunia mengimpikan sebagian
besar hal yang sama. Laporan mimpi lengkap Hall secara publik tersedia di
pertengahan 1990an oleh protégé Hall William Domhoff, untuk analisis berbeda
lebih lanjut.
Pengalaman pribadi
dari hari kemarin atau minggu lalu sering ditemukan dalam mimpi (Alain et al,
2003).
Emosi
Emosi yang paling umum
di alami dalam mimpi adalah rasa takut. Emosi lain antara lain rasa sakit, rasa
kesepian, rasa senang, rasa gembira, dan sebagainya. Emosi negatif lebih sering
dirasakan daripada positif (Hall dan Van de Castle, 1966).
Tema Seksual
Analisa data Hall
menunjukkan kalau mimpi seksual terjadi tidak lebih dari 10% kejadian dan lebih
sering terjadi pada remaja awal dan pertengahan (Hall dan Van de Castle, 1966).
Studi lain menunjukkan kalau 8% mimpi pria dan wanita memiliki muatan seksual
(Zadra, 2007). Dalam beberapa kasus, mimpi seksual dapat menghasilkan orgasme
atau emisi nokturnal. Hal ini umumnya dikenal sebagai mimpi basah (Badan Pusat
Statistik, 2004).
Mimpi berulang
Sementara isi dari
sebagian besar mimpi di impikan hanya sekali, banyak orang mengalami mimpi yang
berulang – yaitu, narasi mimpi yang sama di alami dalam saat berbeda waktu
tidur. Hingga 70% perempuan dan 65% laki-laki melaporkan mimpi mereka berulang.
DOSEN : YANTI SPD,MT
UNIVERSITAS
FAJAR
2015